Bisnis Hiburan Malam Terus Merugi
Industri hiburan malam menjadi salah satu yang paling terdampak akibat pandemi COVID-19 (covid-19). Sejak adanya pandemi, segala jenis usaha di industri ini dipaksa tutup. Bahkan, meski sudah memasuki masa transisi pun, industri ini menjadi salah satu yang masih dilarang beroperasi.
Meski dilarang beroperasi, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Hana Suryani, banyak biaya operasional terutama biaya pajak yang tetap harus dibayar oleh pelaku usaha di industri ini. Oleh karena itu, industri ini mau tidak mau harus mengalami kerugian yang cukup dalam.
Berdasarkan data milik Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, penerimaan kas daerah dari sektor pajak hiburan sebesar kurang lebih Rp 55 miliar dari 1 Januari 2020 hingga 20 Juli 2020. “Berapa total kerugiannya saya tidak ada datanya, tidak berani ngomong tapi acuannya bisa dari pendapatan daerah dari sektor ini, jadi kira-kira segitu kerugian kita,” ungkap Hana.
Bukan hanya kehilangan omzet saja yang bikin pusing kepala, melainkan ada tambahan beban operasional yang masih wajib dibayar oleh para pelaku usaha sektor ini. Hana merinci beberapa beban operasional yang harus dibayar para pelaku usaha di industri ini terdiri dari tagihan pajak reklame dan pajak badan usaha (PPh 25) ternyata masih ditagih.
“Pajak PPh 25 ini masih harus bayar, padahal tidak ada gerak usaha, masa masih disuruh bayar, pajak reklame juga harus bayar, ngaco kan, fungsinya reklame itu apa, iklan, lah tempat usahanya aja tutup, nggak ada yang ngelihat, tapi kita tetap harus bayar,” keluhnya.
Masing-masing sektor industri ini bahkan masih dikenai pajak hiburan yang sangat tinggi. Sektor jasa pijat sampai dikenai pajak 35%, sedangkan karaoke, bar, dan live music dikenai pajak 25%. “Per sektor masing-masing pajaknya berbeda-beda ya, dari 25-35%,” tambahnya.
Hal serupa juga dirasakan oleh salah satu pengusaha industri hiburan malam di Jakarta yakni CEO Broadway Group Vinnie Kinetica Rumbayan. Menurut Vinnie, sampai saat ini bar dan lounge Ms Jackson miliknya di Jalan Suryo, Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, masih belum beroperasi. Alasannya, karena terganjal beberapa peraturan pemerintah seperti pertunjukan live music dan batasan jumlah pengunjung.
“Sebenarnya sudah bisa beroperasi, tapi sampai saat ini kami masih memilih tutup untuk Ms. Jackson, karena peraturan yg belum memperbolehkan musik hidup (live music) dan okupansi maksimum 50%,” ujar Vinnie.
Akibatnya, bisnis pengusaha milenial ini harus menanggung kerugian dengan kehilangan omzet 90-100%. “Dampaknya ya omzet turun 90% saat kami coba jual online produk-produk kami, lalu saat tutup ya otomatis tidak ada pemasukan,” ungkapnya.