Mengenal Marital Rape Dalam RUU KUHP
Istilah marital rape atau pemerkosaan di dalam hubungan pernikahan, memang jarang dibahas di Indonesia. Ini karena, ada anggapan bahwa hubungan seks yang dilakukan dalam koridor pernikahan pasti dilakukan karena suka sama suka. Bukan karena pemaksaan atau pemerkosaan. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah mengatur ancaman hukuman pidana untuk suami yang memaksa hubungan seks kepada istrinya atau sebaliknya.
Pasal 480 ayat (1) menjelaskan setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana penjara 12 tahun penjara. Di ayat (2) pasal tersebut, pemaksaan dalam hubungan suami-istri maupun sebaliknya, juga dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan. Pidana ini juga berlaku bagi persetubuhan dengan anak atau persetubuhan dengan seseorang yang diketahui dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Nah, sebaiknya memang hubungan seksual dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak dan dalam keadaan sadar, terlepas ada atau tidaknya undang-undang tersebut. Ini tentu akan sangat berguna bagi perempuan penikmat dunia malam, yang kerap mendapat pelecehan dan kekerasan seksual hingga pemerkosaan terutama saat sedang tidak sadar karena sedang mabuk berat akibat alkohol.
RKUHP mendefinisikan makna perkosaan adalah ketika memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain, memasukkan alat kelamin orang lain ke anus atau mulutnya sendiri, dan memasukkan bagian tubuh yang bukan alat kelamin atau benda ke anus orang lain. Komnas Perempuan sebelumnya menyatakan pemaksaan hubungan seks suami terhadap istri memang termasuk dalam perkosaan atau marital rape. Pemaksaan ini biasanya dilakukan dengan ancaman atau kekerasan yang tidak dikehendaki pasangan masing-masing.
Apakah rumusan di atas hal yang baru? Ternyata tidak. Definisi serupa juga tertuang saat ini dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Namun dalam UU PKDRT, tidak menggunakan istilah pemerkosaan, tetapi kekerasan seksual. Pasal 8 huruf a UU PKDRT berbunyi: Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Adapun Pasal 46 UU PKDRT berbunyi: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta. Setidaknya sudah ada 2 kasus yang dikenakan pasal tersebut. Kasus pertama terjadi di Denpasar pada 2015. Yaitu Tohari memperkosa istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beberapa pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, PN Denpasar menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari. Dan kasus kedua yaitu Hari Ade Purwanto memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai agama yang ia yakini. Namun pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara.