Menyoal RUU KUHP Yang Kontroversial Part 1
Beberapa hari belakangan, demo mahasiswa dan rakyat yang menolak RUU KUHP, massif diberitakan di media sosial maupun media mainstream. Sebabnya ada beberapa pasal dalam RUU tersebut yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Seperti Pasal 417 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi, “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.” Dalam KUHP saat ini, zina didefinisikan persetubuhan bila salah satu atau dua-duanya terikat pernikahan. Namun, dalam RUU KUHP, istilah zina diperluas menjadi seluruh hubungan seks di luar pernikahan. Tak pelak ini dianggap bisa mengganggu kepentingan Anda para kaum lajang, yang gemar memadu cinta tanpa harus terikat dalam hubungan pernikahan. Benarkah demikian?
Dalam penjelasan disebutkan:
Laki‑laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya.
Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki yang bukan suaminya.
Laki‑laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki, padahal diketahui bahwa laki‑laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan. Nah ternyata dari poin kelima, kita bisa mengetahui bahwa jika RUU ini disahkan menjadi UU, maka mereka yang berhubungan seks di luar pernikahan walau masih sama-sama lajang dapat dikenakan pasal pidana perzinaan.
Juga untuk pasangan yang tinggal bersama meski belum menikah, atau akrab disebut sebagai pasangan kumpul kebo. Tapi, untuk bisa memenjarakan pelaku ‘kumpul kebo’ di atas, harus ada syarat mutlak, yaitu atas aduan suami, istri, orang tua, atau anak. Yang dimaksud anak adalah anak kandung yang usianya telah 16 tahun. Dan, pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai, demikian bunyi pasal 417 ayat 4 RUU KUHP. Bila tidak ada aduan orang tua, anak, istri atau suami, maka negara mutlak tidak bisa mengusut kasus itu. Artinya, jika tidak ada yang mengadukan, maka Anda dapat terus memadu asmara dengan si dia. Tapi sekali lagi, benarkah demikian? Jangan salah, pada pasal 418 ayat 2, ternyata pengaduan juga dapat dilakukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya. Ini artinya, kalau kebetulan kamu memiliki tetangga yang reseh dengan kehidupan seksual kamu, ya siap-siap saja diajukan ya. Jadi paham kan, kenapa pasal ini dianggap kontroversial dan meresahkan?