Pengusaha Hiburan Malam Tolak Larangan Minuman Beralkohol
Para pengusaha hiburan malam ramai-ramai menolak larangan minuman beralkohol. Ya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol sedang dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Pengusaha hiburan malam yang menolak adalah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI). Kedua perkumpulan pengusaha ini menilai RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol kontraproduktif dengan kondisi industri saat ini.
Para pengusaha hiburan malam mengaku semakin diperberat untuk berusaha di Indonesia. Sebelum muncul RUU tersebut saja sudah ada banyak kebijakan yang mengatur minuman beralkohol.
“Kalau kami pelajari selama 15 tahun terakhir kalau terkait minuman beralkohol itu paling tidak ada 36 peraturan yang mengatur, mengawasi, membatasi kegiatan minuman beralkohol. Dari produksinya dibatasi ada kuotanya, harus memiliki izin, baik pusat maupun daerah. Kemudian harus melapor setiap peredaran per botolnya,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) APIDMI Ipung Nimpuno.
Tak hanya itu, lanjut Ipung, konsumennya juga dibatasi hanya yang berusia di atas 21 tahun. Lokasi penjualan juga dibatasi. Selain itu produk minuman beralkohol juga dilarang untuk beriklan di media manapun.
“Untuk promosinya sama sekali tidak boleh melakukan di media apapun, baik di majalah, koran, billboard. Sedangkan produk BKT, barang kena cukai lain seperti rokok jauh lebih longgar,” ujarnya.
Pihaknya pun merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Hal itu dirasa karena mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda dengan rokok. Padahal minuman beralkohol dan rokok sama-sama produk yang memberikan kontribusi cukai.
Ipung juga mengatakan, pihaknya merasa sangat dipersulit oleh kebijakan yang ada. Sebelumnya pemerintah juga membatasi penjualan minuman beralkohol dengan melarang penjualan di minimarket.
Sementara Pengurus PHRI Bidang Legal, Bambang Britono mengatakan penolakan para pengusaha di PHRI karena beleid tersebut kontraproduktif dengan kondisi yang ada sekarang.
“Tanggapan kami, kami menolak karena inisiatif ini kontraproduktif,” kata Bambang.
Kontraproduktif karena industri minuman beralkohol tanah air sudah diatur sangat ketat oleh pemerintah. Mulai dari investasinya, produksinya, penjualannya, hingga tempat konsumsinya.
Selain itu, industri minuman beralkohol sangat erat kaitannya dengan sektor pariwisata. Bambang menjelaskan, pariwisata menjadi salah satu mengenalkan Indonesia ke dunia internasional. Dengan pariwisata, banyak manfaat yang bisa masuk Indonesia seperti investasi hingga devisa.
Tidak hanya itu, Bambang mengungkapkan pembahasan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol ini bukan baru pertama kali dibahas, melainkan sudah beberapa kali dan selalu tidak mendapat persetujuan.
Menurut Bambang, ditolaknya pembahasan RUU ini dikarenakan tujuan dari aturan ini masih tidak jelas. Sebab, industri minuman beralkohol di tanah air sudah sangat ketat.
“Jadi paling regulated di Indonesia itu minuman mengandung alkohol,” katanya.
“Jadi kita minta tolong lah law maker, bapak ibu untuk memperdalam naskah akademik, mungkin kami dari sektor pariwisata bertanggung jawab. Apa perlu bikin UU apalagi di mana regulasinya sudah terkontrol,” tambahnya.