Suka-Duka Pekerja Hiburan Malam di Masa Pandemi
Pandemi COVID-19 (virus corona) berdampak pada banyak sektor, termasuk sektor usaha hiburan tak terkecuali hiburan malam, jasa dan pariwisata. Ya, pelaku usaha hiburan malam, ikut menanggung kerugian karena bisnis sepi tidak ada pemasukan. Para pekerja industri ini, harus menerima keputusan dirumahkan tanpa menerima gaji.
Fajar (30) misalnya, salah satu pekerja hiburan malam yang ikut dirumahkan. Ayah dua orang anak ini, telah bekerja di Fun-Q Family Karaoke, Kendari, selama 7 tahun. Usaha karaoke ini sempat berhenti beroperasi selama 3 bulan, sejak Maret sampai Mei 2020.
Biasanya, ia mulai bekerja sebelum pukul 5 sore, dan menyelesaikan tugasnya pada pukul 2 dini hari. Saat ini, ia bertugas sebagai server, mencatat kebutuhan konsumen yang datang. Gaji bulanan yang diterimanya sekitar Rp 2,5 juta, hanya cukup untuk menafkahi keluarga kecilnya, yang tinggal di rumah kontrakan di Kendari.
Tidak cukup simpanan, dan tak ada penghasilan, Fajar memutuskan mencairkan dana jaminan hari tua (JHT) miliknya. Aturannya, peserta BPJS Ketenagakerjaan bisa mencairkan dana JHT miliknya 100 persen, jika sudah tidak lagi bekerja pada perusahaan.
Karena itu, ia mengundurkan diri dari kantornya dan mengurus administrasi penerimaan dana JHT. Padahal dana tersebut, nantinya hanya akan dipergunakan untuk biaya kuliah anaknya. Ia tidak ingin anaknya hanya tamatan SMA seperti dirinya. “Niatnya untuk biaya pendidikan lebih tinggi (untuk anak) yang lebih dari saya, cukup saya saja yang sebatas ini. Semoga anak saya ke depan lebih dari itu,” kata Fajar.
Selama menunggu proses pencairan dana tersebut, Fajar bekerja sebagai buruh bangunan, dan menjadi kurir untuk menghidupi keluarga. Sewaktu dana JHT sebesar Rp8 juta diterima, ia langsung belanja sepatu, tas, jilbab, masker, untuk usaha jualan online melalui media sosial, bersama istri. Fajar yang langsung mengantar dagangannya untuk konsumen. Sisa dana JHT, dipakai membayar kontrakan rumah dan cicilan motor.
“Yang Rp 8 juta itu habis di situ. Kalau usaha jualan, saya juga tidak bisa memaksa untuk lancar, keadaan sekarang banyak yang kesusahan, kalau ada pembeli yah syukur,” kata Fajar.
Ikut terdampak, ia juga menerima bantuan Rp300 ribu dari Pemerintah Kota Kendari. Setelah mengurus kartu pra kerja, ia juga menerima bantuan Rp2 juta, dan biaya pelatihan.
Usaha karaoke, tempat Fajar bekerja, kembali beroperasi pada Juni 2020. Manajemen memintanya kembali bekerja sebagai supervisor, dengan upah harian. Fahar hanya bekerja selama 15 hari dalam sebulan. Karena hanya bekerja setengah bulan, pendapatannya juga setengah dari biasanya.
Rekan kerja Fajar pada usaha hiburan malam itu, Akbar (25) merasakan keprihatinan yang sama. Akbar sudah bekerja di sana, sejak Februari 2016. Tugasnya mengantar pesanan konsumen. Selama ini, Ia harus menempuh perjalanan sejauh 17 KM dari rumahnya di Tolitoli, Kabupaten Konawe, ke kantornya di Kendari. Setelah menikah, Akbar memilih menetap di kampung itu bersama keluarga kecilnya.
Selama dirumahkan, ia tidak ada penghasilan. Tabungan juga tidak ada. Butuh dana, ia juga mengambil seluruh dana JHT miliknya, sebesar Rp 4 juta. Tidak banyak, tetapi cukup untuk membeli susu anaknya yang masih balita, dan biaya makan selama dua bulan.
Akbar sempat bekerja menjadi kuli bangunan selama 10 hari. Ia menerima upah Rp 700 ribu dan ikut menerima bantuan pemerintah kota setempat sebesar Rp 300 ribu. Juni tahun ini, Ia juga kembali bekerja pada usaha karaoke tersebut, dan mendapat upah Rp1,5 juta setiap bulan.
“Kalau untuk yang berkeluarga pasti lebih baik diupah harian begini, daripada dirumahkan atau sama sekali tidak ada pendapatan,” pungkas Akbar.